etika menurut agama hindu
Ajaran agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat komprehensif, dalam arti tidak saja mengurusi/mengajarkan bagaimana memuja Ida Sang Hyang Widhi, tetapi juga berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Inti ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang disebut Tri Kerangka agama Hindu. Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri dari tattwa (filsafat), susila (etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya dan satu dengan yang lain saling isi-mengisi. Jika diibaratkan seperti sebutir telur, upacara adalah kulit telur, susila adalah putih telur, dan tattwa adalah kuning telur. Bila salah satu bagian ini tidak ada atau rusak maka telur tersebut akan rusak. Begitu juga pengetahuan/tatwa yang tinggi jika tidak diimbangi oleh etika yang memadai maka hidup ini tidak akan harmonis.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dalam hidup bersama ini diperlukan adanya suatu peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku yang baik disebut tata susila.
Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta yang teridi dari kata “Su” artinya baik. Dan “Sila” artinya tingkah laku. Jadi susila adalah tingkah laku yang baik. Di dalam kitab Wraspati tattwa, 26 dinyatakan mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila ngaranya angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.
Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal dan berada di mana-mana yang menjadi dasar hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah dan beraneka ragam macamnya. Begitulah Jiwatman dalam semua makhluk terpisah satu dengan yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang pada dasarnya dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula tunggalnya antara Jiwatman seseorang dengan Jiwatman orang lain.
Jadi prinsip dasar dari susila Hindu adalah adanya satu Atman yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran murni. Bila kamu merugikan tetanggamu sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan makhluk hidup lainnya, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap alam tiada lain adalah dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang merupakan dasar kebenaran methapisik yang mendasari segala kode etik Hindu. Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar dalam semua makhluk.
Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk hanyalah manusia. Karena di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir sebagai manusia untuk berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke dunia bisa tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160 disebutkan sebagai berikut :
“Silam pradhanam puruse tadyaseha pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila ktikang pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika kabeh, yan tan hana silayukti”.
Artinya :
Susila itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada kesusilaan.
Ajaran susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma. Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebijakan agar tidak jatuh ke neraca. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya.
Tata susila membina watak manusia agar menjadi anggota keluarga yang baik, anggota masyarakat yang baik, anggota/putra bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkeperibadian mulia sehingga mencapai kebahagiaan abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya dapat dinikmati bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi, karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan istilah anandha, suka tanpa wali duka.
Pada dasarnya dalam diri manusia ada
dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat
buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi
manusia menjadi dua bagian, yaitu :
- Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
- Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun
perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia. Sifat-sifat ini
perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5
yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir
jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam”.
Artinya :
Tidak mengenal takut, berjiwa murni,
giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria,
berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.
“Tejahksama dhrtih saucam adhro na
‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.
Artinya :
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan,
kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan, ini tertolong pada orang yang
lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.
“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya
suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.
Artinya :
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan
dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan
bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri
Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab
Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :
“Tambho darpo bhimanas krodah
parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Artinya :
Berpura-pura, angkuh, membanggakan
diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong yang dilahirkan dengan
sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.
“Atma sambhawatah stabdha dhana mana
madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Artinya :
Menganggap dirinya yang terpenting,
keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura,
semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.
“Trivihdam narakasyedam dvaram
nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Artinya :
Ada tiga gerbang pintu neraka yang
meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang
harus menghindari ketiganya itu.
Oleh karena itu, setiap perbuatan
baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, berarti
juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul
suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi
berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah
awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah
makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan Prakertiku tunggal
dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau,
aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah terscantum di dalam
kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat penting
di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang harmonis
antara satu dengan yang lainnya. Ajaran susila ini hendaknya diusahakan oleh
setiap manusia.
Demikian harus kita sadari, betapa
pentingnya ajaran tata susila itu kita terapkan. Tata susila pada dasarnya
bertujuan untuk membina hubungan yang selaras / rukun antara seseorang
(Jiwatman) dengan mahluk lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad
dan Asuri sampad pada diri manusia disebabkan oleh beberapa faktor, bisa faktor
intern, bisa dari faktor extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut.
Berkaitan dengan keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan kita untuk
selalu menumbuh kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.
- B. Tri Guna
- 1. Pengertian
Triguna ini merupakan tiga macam
elemen atau nilai-nilai yang ada hubungannya dengan karakter dari mahluk
hidup khususnya manusia. Tri Guna adalah tiga macam sifat manusia yang
mempengaruhi kehidupan manusia. Triguna ini terdapat pada setiap orang hanya
saja ukurannya berbeda-beda. Tri Guna adalah bagian dari Prakerti dan apabila
prakerti bertemu dengan Purusa maka Tri Guna akan mulai beraktivitas dan ketiga
dari unsur-unsur Tri Guna tersebut berkeinginan saling menguasai satu dengan
yang lainnya.
Manusia di dalam bertingkah laku
sangat dipengaruhi oleh tiga sufat yang disebut Tri Guna, yang terdiri dari :
- a. Satwam/satwa adalah sifat tenang
- Rajas/rajah adalah sifat dinamis
- Tamas/tamah adalah sifat lambah
Dalam kitab Wrhaspati tatwa sloka 15
dijelaskan sebagai berikut :
“Lagha prakasakam sattwam cuncalam
tu rajah dthiyam
Tamo guru waranakam ityetaccinta
laksanan,
Ikang citta mahangan mawa, yela
sattwa ngarannnya
Ikang madrss malah, yeka rajah
ngarananya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya.”
Artinya :
Artinya :
Pikiran yang ringan dan terang, itu
sattwam namanya, yang bergerak cepar, itu rajah namanya, yang berat serta
gelap, itulah tamah namanya.
Tri Guna merupakan tiga macam
elemen/nilai-nilai yang ada pada setiap manusia yang dibawa sejak lahir. Tri
Guna merupakan bagian dari Prakerti / Pradhana yang baru akan aktif bila
Prakerti sudah bertemu dengan Pradhana. Dan setelah aktif masing-masing dari
bagian Tri Guna tersebut akan bersaing menguasai satu dengan yang lainnya
- 2. Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia
Tri Guna ini merupakan tiga sifat
yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga dapat kita lihat di dunia
ini ada bermacam-macam. Kecenderungan sifat manusia. Ada orang yang
berpenampilan lemah lembut selalu ramah, dan menyenangkan bagi yang
melihat. Namun ada juga orang yang rajin, kreatif serta energik dalam
kehidupannya. Selain hal tersebut di atas tidak jarang juga kita melihat ada
orang yang penampilannya awut-awuran, tidak terururs serta pemalas. Semua
penampilan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari bagian-bagian Tri Guna
yang tidak seimbang.
Beberapa sloka dalam kitab suci yang
memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap kepribadian manusia adalah sebagai
berikut :
“Yan satwawika ikang citta, ya
hetuning atma pamunggihaken kamoksan, apan ya nirmala, dumeh ya gumawayaken
rasaning agama lawan wekas ning guru
(Wrghaspati tattwa, 20)
Artinya :
Apabila sattwa citta itu, Itulah
Atma menemukan kamoksaan, atau kelepasan oleh karena itu ia suci, menyebabkan
ia melaksanakan ajaran agama dan petuah guru.
Yapwan pada gong nikang sattwa lawan
rajah, yeka matangnyan mahyun mugawaya dhama denya, kedadi pwakang dharma denyu
kalih, ya ta matangnyun mudih ring swarga, apan ikang sattwa mahyun ing gawe
hayu, ikang rajah manglakwaken”
(Wgraspati tatwa, 20)
Artinya :
Apabila sama besarnya anatara
sattwam dan rajah, itulah menyebabkan ingin mengamalkan dharma olehnya,
berhasilah dharma itu olehnya berdua, itulah menyebabkan pulang ke sorga,
sebab sattwam ingin berbauat baik, si rajah itu yang melaksanakan.
Yan pada gingnta katelum ikang
sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma manusia, apaan pada wineh
kahyunya”
(Wraspati tatwa, 22)
Artinya :
Apabila sama besarnya ketiga Guna,
Sattwan, Rajah, dan Tamah itu, itulah yang menyebabkan penjelmaan manusia
karena sama memberikan kehendaknya / keinginannya.
“Yapwan citta si rajah magong,
kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma tibeng naraka”
(Wrhspati tattwa, 23)
Artinya :
Apabila citta si rajah besar, hanya
marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang menyebabkan jatuh ke neraca.
Berdasarkan sloka tersebut di atas
maka jelaskah yang menyebabkan adanya perbedaan kelahiranitu adalah Tri Guna (sattwam,
rajah, dan tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma muncul suka duka.
Demikianlah penjelasan beberapa
sloka kita Wrhaspati tattwa, yang pada dasarnya menyatakan bahwa Tri Guna ada
pada setiap prnag hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih
banyak dipengaruhi oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana,
berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga
merupakan sifat sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi seseorang maka
orang tersebut menjadi tangkas, keras, rajin dan penuh usaha. Sifat congkak dan
iri, bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun bila guna tamaha lebih banyak
berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamba, malas dan
bodoh. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu juga termasuk sifat-sifat
tamah. Di dunia ini tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga Guna
tersebut merupakan satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan yang
berbeda-beda. Perpisahan diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena
dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Dan pengaruh
Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang digolongkan sifat-sifat
yang baik dan ada yang buruk.
Seperti telah dijelaskan di atas
bahwa Tri Guna pada hakekatnya merupakan bagian dari prakerti/predhana, sebagai
asas kebedaan. Bila Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna mulai aktif
dan ingin saling menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan
tamah, maka Atma mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama
kuatnya, maka Atma mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan Tamah
berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih
unggul dari sattwam, Rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai
manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari Sattwam dan Tamah, menyebabkan
Atma jatuh ke alam neraca . Apabila sifat tamah yang lebih unggul dari Sattwam
dan rajah , maka Atma menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dari penjelasan tersebut, kita
mempunyai pengetahuan bahwa Tri Guna sangat berpengagruh terhadap
baik-buruknyakehdiupan manusia. Manusia hendaknya mampu mengendalikan Tri
Guna ini dengan baik, menggunakan sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri Guna
akan memebirkan manfaat pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah
ke arah Sattwam, karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana
menyebabkan Atma mengalami kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh
hal yang kita hindari.
- C. Dasa Mala
Dalam Kitab Bhagawadgita telah
disebutkan bahwa pada dasarnya kecederungan budhi manusia ada dua jenis yaitu
Daiwa Sampad dan Asuri Sampad. Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan
untuk berbuat tidak baik (Asubha Karma). Banyal perilaku yang tidak baik
yang perlu kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu
perbuatan-perbuatan yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh
dalam diri manusia. Ada beberapa kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti :
Tri Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala adalah
sepuluh macam sifat-sifat yang kotor/tidak baik, yang perlu kita hindari karena
tergolong Asubha Karma.
Dasa Mala merupakan sumber dari
kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang cenderung
kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan dengan susila hendaknya
kita hindari dalam hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun pembagian
dari Dasa Mala tersebut adalah sebagai berikut :
- Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan sikap malas adalah sikap yang dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena sikap ini merupakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke dunia ini adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini tidak mau melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak akan bisa mencapai Kesempurnaan hidup. Hilangkan sifat bermalas-malas karena tidak ada tujuan yang dapat dicnapai dengan hanya berdiam diri, bahkan sifat malas akan makin menjauhkan Atma dengan Paramatma. Oleh karena itu hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas dan kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
- Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau memahami maskud orang lain.
Sifat putus asa, suka menunda-nunda
suatu pekerjaan tergolong sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. Orang
yang dalam kehidupannaya lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat tamas akan
menyebabkan Atma jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih unggul
dari sattwam dari rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk maju/untuk
mencapai Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya. Jangan
cepat terputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka menunda-nuda waktu
untuk melakukan tugas dna kewajiban karena hidup kita hanya sebentar.
- Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan. Pikrian paling menentukan kualitas perilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak baik maka indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. Oleh karena itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda dan menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lmain. Upayakan untuk menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Ada tiga cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :
- Si tan engin adengkya ri drbyaning len, artinya tidak menginginkan milik orang lain.
- Si tan krodha ring sarwa sattwa, artinya tidak membenci semua mahluk.
- Si mamituha ring haning karmaphala, artinya orang yang amat yakin pada kebenaran hukum karmaphala.
- Kitula artinya menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru
Menyakiti dan membunuh mahluk lain,
lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi
gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang
bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua. Di dalam
pergaulan ini akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan sekarang maupun
pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita ubah himsa karma
menjadi ahimsa karma. Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang
menyebabkan mahluk lain menderita, agar kehidupan kita menjadi tenang, tentram
dan bahagia.
- Kubaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan keras kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada badan kita sehingga kita akan menjadi sakot. Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebala tubuh sehingga dapat mencegah penyakit. Kita harus mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai.
- Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri orang lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti orang lain bahkan bisa menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh sebab itu martilah kendalikan kata-kata kita agar terdengar manis dan mengejutkan, lemah-lembut, ospan, sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri (Wasita nimittanta manemu laksmi. Ada empat macam pengendalian kata-kata yaitu :
- Tidak suka mencaci maki
- Tidak berkata kasar pada orang lain
- Tidak memfitnah
- Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
- Megara artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih
Perbuatan jahat tergolong asubha
karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan
rohani.
Ada tiga macam pengendalian
perbuatan agar tercapai tujuan keharmonisan, yaitu :
- Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda orang lain (tidak mencari)
- Tidak berzina
- Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa
Ragasti merupakan sifat-sifat yang
bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat seperti itu sifat-sifat asuri
sempat/sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah
perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat suka memperkosa harus dihindari untuk
menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral. Jika ragastri dibiarkan maka akan
menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan sifat-sifat
itu kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan menghindarinya, serta
mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bisa menuntut jiwa
bersatu dengan Ida snag Hyang Widhi Wasa.
- Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berpoya-poya.
Berpoya-poya berarti mempergunakan
harta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang
dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa
kekayaan yang berlimpah jika penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada
akhirnya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari
wanita penghibur dan sebagainya, selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup
sederhana akan bisa juga meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baik lahir
maupun batin.
10. Kimharu artinya penipu dan
pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan irihari. Sifat
dengki dari iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (Asubha
Karma). Sifat Ini patut dihilangkan dari diri seseorang itu. Bahkan saking
kuatnya sifat dengki dan iri hati bercokol pada diri seseorang, diperlukan
upaya yang kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena itu dia katakana sebagai
salah satu musuh dalam diri manusia out. Ingat Sadi Ripu (musuh yang enam
jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut dikalahkan yaitu, Kama, Loba
Krodha, Mada, moha dan Matsarya). Matsarya adakah sifat dengki dan iri hati
juga termasuk salah satu sifat kurang simpatik tetapi juga kurang baik. Bisa
juga tidak etis. Sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat yang
kotor dari sepuluh macam sifat kotor (Dasa Mala) lainnya yang perlu kita
kendalikan agar tercapai kesucian diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa.
Demikianlah sepuluh yang menyebabkan
manusia tersesat dan jatuh ke neraka. Sadarilah hal tersebut dan dihindari Dasa
Mala itu sehingga tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham jagadhita yang ca
iti dharma dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan
berbuat baik, kurnagi keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa
kasih sayang kepada sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.
Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa
Mala tumbuh dengan suburnya di hati manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam
masyarakat begitu banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan
terjadi akibat dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap
benda-benda duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari merugikan
orang lain. Orang banyak mencari popularitas dengan menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan, seperti kasus pengeboman di beberapa daerah
di Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga dapat melakukan
perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa penyesalan atas
peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa. Belum genap setahun tragedy bom
bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota Jakatta dengan terjadi bom di
Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5 Agustus 2003. Ini menunjukkan bahwa
orang seperti itu sudah diliputi oleh Dasa Mala terutama Leja (pikiran
gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan).
Di era reformasi ini, orang mulai
bebas berbicara, sering berkata sembarangan, saling mencari maki, memfitnah
yang dapat menimbulkan akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya
orang lain. Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya
sepahit empedu. Apa yang dikatakan bohong belaka. Kata manis yang
diucapkan hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok. Akibat dari keterikatan diri terhadap benda-benda duniawi, banyak
orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri ,seperti melakukan
penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan tersebut tidak jarang
dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, membeli narkotik, dan kemudian
melakukan pemerkosaan.
Pelanggaran hak asasi manusia sering
kali terjadi, orang tidak lagi menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi
hormat kepada guru, dan banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya.
Pelecehan seksual sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya
sendiri. Berita di televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat
tindak criminal, seperti perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang terlibat
perdagangan narkotik yang sulit diselesaikan seperti patah satu tumbuh seribu.
Pembunuhan terjadi dimana-mana, sepertinya sudah menjadi pemandangan yang
biasa. HAM sudah tidak dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak
manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun, dan tata karma. Di zaman
kali yuga ini artha di agung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat
pertama dan merupakan segala-galanya, seperti disebutkan did alam kitab
Nitisastra IV.7 sebagai berikut :
Singih yan tekaning yuganta kali
tanhana lewuha sakeng mahadhana, tan walanguna curu pandita widagha pada
mangayap ing dhacewara, sakwehning inasya san wiku hilang, kulu ratu pada hna
kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita”
Artinya :
Sesungguhnya bila zaman kali datang
pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa
orang yang saleh, orang yang pandai akan mengabdi kepada orang yang kaya. Semua
pelajaran Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik
dan raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang
tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan kepandaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar